Uang Dalam Pandangan al-Ghazali
& Ibnu Khaldun
Abu Hamid
al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam
perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu
yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam
ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua
kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan
sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang
mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut Al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi
barter dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”.
Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 1000 dinar dan kain
senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka
uang akan berfungsi sebagai media penukaran.
Namun
demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan
untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai
warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya adalah uang tidak
mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi
klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct
utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli
barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan
mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu
Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada
nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara
karena akan menyerap tanaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan
menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Menurut
Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah,
maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh
kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga
setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota
makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan
murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian
besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga
keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun
karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk
kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah
seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara
dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti
memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi,
sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan
bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri
seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan
mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu
dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu
yang lebih panjang.
Fungsi Uang Islami vs Konvensional
Menurut
konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep
ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku
“Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang
dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang
adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods.
Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods.
Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap
merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam,
telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi
konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan
berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan masalah externalities,
public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam
sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali
air, api, dan rumput.”
Persamaan
fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional adalah uang sebagai
alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of
account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu
fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian
berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah
fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam
al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan
fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang
yang dapat berfungsi sebagai uang.”
Dengan
demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena
manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari
fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang
lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai
mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble
Gum Economic”.