BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Menurut Azyumardi Azra, bahwa kawasan asia tenggara terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan atas pengaruh yang diterima wilayah tersebut.
Pertama, adalah wilayah Indianized Southeast Asia, Asia Tenggara yang dipengaruhi India yang dalam hal ini hindu dan budha. Kedua, Sinized South East Asia, wilayah yang mendapatkan pengaruh China, adalah Vietnam. Ketiga, yatu wilayah Asia Tenggara yang dispanyolkan, atau Hispainized South East Asia, yaitu Philipina.
Ketiga pembagian tersebut seolah meniadakan pengaruh Islam yang begitu besar di Asia Tenggara, khususnya Philipina. Seperti tertulis bahwa Philipina termasuk negara yang terpengaruhi oleh Spanyol. Hal itu benar adanya, akan tetapi pranata kehidupan di Philipina juga terpengaruhi oleh Islam pada masa penjajahan amerika dan spanyol. Sedikit makalah dibawah ini akan menyingkap dengan singkat tentang sejarah masuknya Islam di Philipina.
Islam di Asia menurut Dr. Hamid Dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di Philipina merupakan salah satu kelompok minoritas diantara negara negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977 Masyarakat Philipina berjumlah 44. 300.000 jiwa. Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao. (Wikipedia, Islam di Filipina, 2010).
Umat Islam di Filipina adalah salah satu contoh muslim minoritas dinegaranya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan masyarakat muslim di wilayah tersebut pada awal mula kedatangan Islam. Apa yang menjadi latar belakang sehingga mayoritas muslim abad 15-17 berubah menjadi minoritas pada abad ke-18 hingga sekarang inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Pembahasan akan dimulai dari sejarah masuknya Islam ke wilayah ini serta proses Islamisasi yang ada. Masa kolonial yang kemudian di hadapi oleh bangsa ini akan menjadi pembahasan berikutnya, sekaligus dampak yang terjaditerhadap perkembangan Islam di Negara tersebut. Sebagaimana diketahui, Filipina menghadapi dua kali masa penjajahan, yaitu oleh Spanyol dan Amerika. Begitu juga akan menjadi salah satu sub pembahasan dalam makalah ini, perkembangan Islam di Filipina pasca kemerdekaan.
Berbagai perjuangan bangsa Moro dalam memperjuangkan hidupnya sebagai bangsa minoritas akan dibahas satu per satu meskipun tidak dapat dijelaskan secara panjang lebar. Dengan pembahasan sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dapat diperoleh sebuah pengetahuan mengenai sejarah Islam di Filipina berikut latar belakang dan perkembangannya sejak awal masuknya Islam di Filipina hingga sekarang, dimana bangsa Moro (sebutan untuk umat Islam Filipina) hanya menjadi kaum minoritas di negerinya sendiri.
Bila menengok lembar sejarah Filipina, umat muslim Filipina telah ada sejak abad 13. Filipina sendiri waktu itu belum berbentuk negara menjadi Republik Filipina. Ia hanya sebentuk kepulauan rumpun melayu yang dijadikan tempat berniaga para pedagang muslim dan persinggahan para ulama dari Gujarat, India, dan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka menempati Kepulauan Sulu.
Namun, setelah itu, petualang-petualang muslim Melayu menyusul dan mendirikan kesultanan di bagian Filipina, yakni Sulu, Palawan dan Mindanao. Diantara mereka adalah para da'i dari pulau Kalimantan yang kebetulan berdekatan dengan Sulu. Maka berkembanglah dengan pesatnya kehidupan muslim di tiga daerah ini. Pengaruhnya bukan hanya pada perkembangan agama, tapi juga secara sosial-kultural di masyarakatnya.
Menurut data Peter Gowing dalam Muslim Filipinos-Heritage and Horizon, muslim Filipina dibagi ke dalam 12 kelompok etno-linguistik (suku-bangsa). Enam yang paling utama adalah Maguindanao, Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Preang sisanya yaitu Jama Mapun, Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan dan Sangil.
Kendati suku-bahasa itu sangat beragam, bahasa kelompok muslim sendiri memiliki kesamaan. Misalnya, bahasa Manguindanao dan Maranao dapat diucapkan dan dimengerti oleh kedua kelompok ini. Tetapi ada pula beberapa dialek yang dipakai baik oleh orang Islam maupun orang Kristen, yakni bahasa Samal, Jama Mapun, dan Badjao. Sementara bahasa Tagalog dan Visayan banyak digunakan oleh orang-orang Kristen.
B.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui sejarah masuknya islam ke Filipina
2.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan peradaban islam di fiilipina
3.
Untuk mengetahui Untuk mengetahui bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina pada masa kolonial spanyol.
4.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina Masa Imperialisme Amerika Serikat.
5.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina pada masa peralihan.
6.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina pada masa pasca kemerdekaan.
7.
Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh pejuang Islam di Filipina. Untuk mengetahui apa-apa saja wilayah Autonomi Islam Mindanao
C.
Rumusan Masalah
1.
Apa sejarah masuknya islam ke Filipina?
2.
Bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina?
3.
Bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina pada masa kolonial spanyol?
4.
Bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina Masa Imperialisme Amerika Serikat?
5.
Bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina pada masa pasca kemerdekaan?
6.
Bagaimana perkembangan peradaban islam di Filipina pada masa pasca kemerdekaan?
7.
Siapa tokoh-tokoh pejuang Islam di Filipina. Untuk mengetahui apa-apa saja wilayah Autonomi Islam Mindanao
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Masuknya Islam di Filipina
Sejarah masuknya Islam di Filipina tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio-cultural wilayah tersebut sebelum kedatangan Islam. Filipina adalah sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari 7107 pulau. Penduduknya yang berjumlah 47 jiwa menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda yang mencerminkan banyaknya suku dan komunitas etnis. Sebelum kedatangan Islam, Filipina adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Islam dapat masuk dan diterima dengan baik oleh penduduk setempat setidaknya karena ajaran Islam dapat mengakomodasi berbagai tradisi yang telah mereka lakukan selama ini.
Para ahli sejarah menemukan bukti abad ke-16 dan abad ke-17 dari sumber-sumber Spanyol tentang keyakinan agama penduduk Asia Tenggara termasuk Luzon, yang merupakan bagian dari Negara Filipina saat ini, sebelum kedatangan Islam. Sumber-sumber tersebut memberikan penjelasan bahwa sistem keyakinan agama yang sangat dominan ketika Islam datang pada abad ke-14 dengan syarat berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal.
Hal ini jelas sekali tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menentang keras penyembahan berhala dan politeisme. Namun tampaknya Islam dapat memperlihatkan kepada mereka bahwa agama ini memiliki cara tersendiri yang menjamin arwah orang yang meninggal dunia berada dalam keadaan tenang, yang ternyata dapat mereka terima.
Di sisi lain, tidak dapat diragukan lagi bahwa skala perdagangan Asia Tenggara mulai melesat sangat pesat pada penghujung abad ke-14. Hasil dari perdagangan ini, kota-kota berkembang dengan kecepatan sangat mencengangkan termasuk sepanjang wilayah pesisir kepulauan Filipina. Para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan menimbulkan adanya pertukaran baik di bidang ilmu pengetahuan maupun agama.
Di antara semua agama besar di dunia, Islam barangkali yang paling serasi dengan dunia perdagangan. Al-Qur’an maupun Al-Hadits sebagai sumber tertinggi dalam agama Islam banyak memuji kepada pedagang yang dapat dipercaya. Hal ini mengakibatkan orang yang cenderung bergerak dalam dunia perniagaan pasti terpikat dengan ajaran Islam. Mulai saat itu, Islam terus memperluas pengaruhnya secara kultural, yaitu dengan melalui perkawinan antar etnis hingga akhirnya melalui system politik. Jalur yang terakhir ini (politik) terjadi ketika Islam telah dipeluk oleh para penguasa khususnya para raja.
Pengaruh Arab dan penyebaran Islam di Filipina bermula dari Sulu yang dibawa oleh seorang syekh yang kemudian menikah dengan putri Raja Sulu pada awal abad ke-8/14 M. setelah itu dikutip pula seorang bangsa Arab keturunan syekh yang bernama Maldhum Karim atau Tuan Syarif ‘awliya’. Beliau tiba di Sulu pada pertengahan abad ke-14. Setelah itu datang seorang pendakwah atau da’I Arab yang bernama Syekh Abu Bakar atau syarif al-Hasyim yang berasal dari Mekkah. Kemudian beliau dilantik menjadi sultan di Sulu dan memerintah selama 30 tahun pada tahun 1450-1480. Kesultanan di Sulu kemudian diwarisi oleh 32 sultan dan yang terakhir adalah Sultan Jumal al-Karim II (1884-1936).
Dari Sulu inilah kemudian Islam tersebar ke Mindanau pada abada ke-10 H yang dibawa oleh ‘Ali Zainal Abidin yang bergelar “Kabungsuwan” yang merupakan keturunan Syed ‘awlawiyyah yang memiliki hubungan keluarga dengan kerabat raja di Johor. Kedudukan dan pengaruh Kabungsuwan semakin hari semakin kuat sehingga beliau Berjaya mengislamkan hampir semua penduduk Mindanau dan seterusnya mengasaskan sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat di sana. Kerajaan Islam di Mindanau ini telah diwarisi oleh kaum keluarga Kabungsuwan yang kemudian telah meluasakan kerajaan taklukan mereka ke beberapa buah kerajaan Islam yang lain, seperti Kerajaan Mindanau, Kerajaan Buayan, dan Kerajaan Butig.
B.
Sejarah Perkembangan Peradaban Islam di Filipina
Sumbangan dari Syed dalam bidang dakwah Islam adalah sangat besar bagi penyebaran awal Islam di Filipina karena mereka sudah terkenal sebagai ahli agama sejak mereka di Hadramaut. Pandangan dan pemikiran orang Syed khususnya Syed ‘Alawiyyah terhadap agama adalah bercorak konservatif karena mereka tidak bersedia untuk menerima sembarang perubahan dan pembaruan. Sikap demikian telah sedikit banyak memengaruhi masyarakat Islam di negeri ini pada masa sesudahnya.
Perkembangan selanjutnya orang muslim di Filipina menamakan diri mereka sebagai muslim Moro. Nama ini sebenarnya bersifat politis, karena realitasnya Moro terdiri dari banyak kelompok etnolinguistik, seperti Maranao, Manguindanao, Tausung, Samal, Yakan, Ira Naun, Jamaapung, Badjou, Kalibungan, Kalangan, dan Sangil. Dalam kehidupan sosial antara kelompok elit tradosional dan massa terdapat jurang pemisah yang cukup lebar di kalangan mulim Moro. Identifikasi dan kesadaran etnik yang terjadi karena pembagian-pembagian komunitas musllim secara geografis, tampak sangat kuat. Namun meskipun terdapat variasi dan perbedaan itu, terdapat perasaan persaudaraan keagamaan terutama kerika menghadapi persoalan yang sama.
Bukan hanya agama yang telah menyatukan orang-orang muslim Filipina, akan tetapi kesulitan ekonomi dan kerasnya hidup yang dialami sebagai penduduk minoritas membuat mereka merasakan nasib yang sama. Kebijakan untuk menempatkan orang-orang Kristen di Mindanau beberapa dekade yang lalu sejak berakhirnya Perang Dunia II membuat keseimbangna tradisional terganggu, dan merugiakan masyarakat muslim. Masuknya modal dan teknologi besar-besaran ke wilayah Mindanau di berbagai sektor ekonomi dan industry yang beberapa kasus mengakibatkan tersingkirnya masyarakat muslim dari komunitas tradisionalnya, sangat tidak menguntungkan masyarakat muslim. Dari beberapa peristiwa tersebut telah menimbulkan semangat perjuangan dalam solidaritas gerakan dakwah, oleh karenanya muncullah beberapa organisasi Islam. Diantaranya adalah Muslim Independence Movement (MIM di tahun 60-an), Moro National Liberation Front (MNLF), dan Bangsa Moro Army (BMA) yang berjuangbagi kaum muslim di Filipina karena mereka terlalu dieksploitasi secara ekonomi, politik, dan kehidupan sosial.
Mayoritas orang-orang Moro adalah nelayan dan petani. Orang Moro merasa diri mereka berbeda dengan orang Filipina. Perbedaan sesungguhnya bukan pada faktor etnis, karena jumlah kelompok etnis mendekati 100 di Filipina tetapi lebih pada faktor sejarah politik, wilayah, agama, dan kondisi sosial ekonomi.
Dilihat dari aktivitas kerja, orang-orang Islam Moro ada yang bekerja di sektor pemerintahan sebagai guru, administrator, personil angkatan bersenjata, pegawai kantor kehakiman dan bahkan ada yang terpilih sebagai gubernur. Kaum muslim yang mendapat pendidikan sekuler secara cenderung mudah menyatu dengan negara Filipina. Sebaliknya yang tidak mau menerima pendidikan sekuler dan hanya mendapatkan pendidikan agama secara tradisional, biasanya tidak menghendaki integrasi dengan Filipina, terutama kelompok elite lokal yang mendapat pendidikan di timur tengah. Antara kelompok elite tradisional dan massa terdapat jurang pemidah yang cukup lebar di kalangan masyarakat Moro. Identifikasi dan kesadaran etnik yang terjadi karena pembagian komunitas-komunitas muslim secara geografis, tampaknya sangat kuat. Namun, meskipun terdapat variasi dan perbedaan itu, terdapat perasaan persaudaraan keagamaan terutama ketika menghadapi persoalan yang sama.
Sebagaimana juga kawasan lain, Islam di Filipina juga mengalami kebangkitan yang cukup signifikan. Seorang ilmuwan muslim, Asiri Abu Bakar, menguraikan beberapa faktor yang turut menyumbang kebangkitan Islam di Filipina, di antaranya:
1.
Bertambahnya hubungan denga ulama dan para pendarang muslim yang terpelajar dari dunia Arab
2.
Bertambahnya jumlah warga moro yang pergi naik haji
3.
Bertambahnya kesempatan melakukan studi di berbagai pusat Islam di seluruh dunia
4.
Partisipasi aktif dalam berbagai pertemuan
5.
Kembalinya ratusan pelajar muslim dari luar negeri
6.
Semakin banyak didirikan madaris (madrasah; sekolah agama) di daerah-daerah
7.
Kedatangan para pejabat dari dunia Islam ke Moroland (Filipina)
8.
Berbagai konferensi pers internasional dan peliputan perang yang sedang berlangsung di Mindanau serta kekejaman yang dilakukan oleh beberapa personel militer di wilayah tersebut.
1)
Masa Kolonial Spanyol
Kedatangan orang-orang Spanyol ke Filipina pada tahun 1521 M, selain untuk menjajah juga bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen. Dengan kekerasan, persuasi atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya hamper ke seluruh wilayah Filipina. Namun, ketika Spanyol menaklukan wilayah utara Filipina dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian melawan kesultanan Islam di wilayah selatan Filipina, yakni Sulu, Manguindanau danBuayan. Rentetan peperangan yang panjang antara Islam dan Spanyol hasilnya tidak nampak kecuali bertambahnya ketegangan antara orang Kristen dan orangIslam Filipina.
Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai "Moor" (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut. Tahun1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri.Bangsa Spanyol juga melakukan inkuisisi yang buruk terhadap orang-orang muslim di semenanjung Iberia. Mereka menyerang karajaan muslim Sulu, Manguindanau dan Manilad dengan fanatisme dan keganasan yang sama seperti mereka memperlakukan penduduk muslim mereka sendiri di Spanyol. Bahkan Raja Philip memerintahkan Kepala Staf Angkatan Lautnya sebagai berikut: “Taklukkan pulau-pulau itu dan gantikan agama penduduknya (ke agamaKatolik)”. Menghadapi latar belakang seperti ini, orang-orang muslim Filipina (bangsa Moro) harus berjuang bagi kelangsungan hidupnya sampai saat ini, lebih dari empat abad. Spanyol tidak pernah dapat menaklukkan kesultanan Islam Sulu walaupun dalam keadaan perang terus menerus, dan harus mengakui keberadaannya yang merdeka.
2)
Masa Imperialisme Amerika Serikat
Pada tahun 1896, Presiden Mc. Kinley dari AS memutuskan untuk menduduki Filipina untuk “mengkristenkan dan membudayakan” rakyat sebagaimana ia ajukan. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Amerika berhasil menduduki jajahan Spanyol ini pada tahun 1899, namun mendapatkan perlawanan dari Negara muslim Sulu. Traktat tersebut ternyata hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum Revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian(1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Kesultanan Sulu jatuh ke tangan Amerika pada tahun 1914. Pada tahun 1915, Raja (Sultan) Muslim dipaksa turun tahta, tetapi diakui sebagai ketua komunitas muslim. Hanya pada April 1940 Amerika menghapuskan Kesultanan Sulu dan menggabungkan bangsa Moro ke dalam Filipina.
Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawa`nanBangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasikaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian yang selama ini dipelihara olehmasyarakat Muslim.
3)
Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datuk, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao.
Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut.Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.
4)
Masa Pasca Kemerdekaan
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina pada 4 Juli 1946 M dari AmerikaSerikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM (Mindanao Independece Movement),MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama, juga merupakan masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos. Perkembangan berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro IslamicLiberation Front (MILF) pimpinan Hashim Salamat, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan.
Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro. Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari(ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 diIstana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu.
Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. "Semua orang harusmemilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak," katanya. Dan jadilah bangsaMoro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri. Menurut Majul, minimal ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegrasi secara penuh kepada pemerintah Republik Filipina.
1)
bangsa Moro sulit menerima Undang-Undang Nasional karena jelas undang-undang tersebut berasal dari Barat dan Katolik dan bertentangan denganajaran Islam.
2)
Sistem sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur membuat bangsa Moro malas untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
3)
Adanya trauma dan kebencian yang mendalam pada bangsa Moro atas program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina ke wilayah mereka diMindanao, karena program ini telah mengubah mereka dari mayoritas menjadi minoritas di segala bidang kehidupan.
Keadaan darurat pada 1972 yang dibelakukannya oleh Presiden Marcos mengarah pada semakin memburuknya pelaksanaan hukum. Masyarakat baru yang ingin dibangun marcos merupakan upaya untuk memperbaiki kebobrokan yang melanda Filipina sebagai negara. Kaum muslim tentu saja terpengaruh, namun pada tingkat pemerintahan mereka telah diberi konsensi. Pemberontakan kaum muslim dilihat sebagai sesuatu yang terlalu mahal dan tidak perlu. Perjanjian Tripoli yang diupayakan untuk menghentikan pertempuran antara pihak MNLF dengan pemerintah diadakan. Langkah-langkah positif telah dilakukan pemerintah untuk menunjukkan perhatian dan iktikad baik. Di antaranya adalah dengan pembentukan Philipine Pilgrimage Authority, agen pembangunan dan kesejahteraan muslim dan pelaksanaan hokum keluarga bagi kaum muslim.
Dari telusan diatas, begitu kentara bahwasanya islam masuk Philipina dengan jalan yang tidak mulus, berliku dan harus menghadapi rintangan dan hambatan dari dalam maupun luar negeri. Imbasnya, maka pada awal tahun 1970-an, Islam di Philipina merupakan komunitas minoritas dan tinggal di beberapa daerah dan pulau khusus. Dengan suatu konsekwensi bagi kaum minoritas Islam berseberangan degnan kepentingan pemerintah, hingga timbullah konflik yang berkepanjanangan antara pemerintah dan komunitas muslim.
Perubahan politik akhit-akhir ini di Filipina telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat muslim. Percobaan demokrasi di Filipina tengah melewati suatu fase yang krusial. Sikap positif terhadap penduduk muslim Filipina akan membantu meringankan beban tugas Presiden Fidel Ramos. Perundingan terus berlangsung, sementara encatan senjata belum efektif seratus persen. Antara Fidel Ramos dan Nur Misuari (Tausug) dan Hasyim (Maguindanao) terus melakukan politik rekonsiliasi nasional dalam pengertian luas semua golongan, hingga Indonesia bersedia menjadi penengah, dan telah dilaksanakan di Jakarta.
Dari seluruh telaah tersebut menunjukkan bahwa fase-fase studi Mori yang disketsakan adanya keterkaitan antara studi masyarakat, sejarah, dan agama. Dalam metodologi kajian Islam, semua itu tidak bisa dikaji secara terpisah, karena kekompleksannya termasuk melalui ilmu-ilmu sosial. Pada dekade 70-an, Michael O. Masturs dan Adip Majul telah mengisi kekosongan kritis dalam literature ilmu sosial tentang kaum muslim di Filipina. Dalam kebijakan publik, keduanya berhasil membuat draf kitab undang-undang bagi kaum muslim Filipina yang sekarang disahkan sebagai PD No. 1083. Ini tellah melahirkan arah penelitian baru bagi reformasi hokum dan administrasi pengadilan syariah di Asia Tenggara.
Perubahan rezim politik telah membuka jalan bagi reformasi ekonomi. Kedua sarjana tersebut telah mendesak H.B 4996 yang drafnya ia buat untuk Piagam Bank Investasi Islam Filipina. Dengan bank ini, diharapkan kaum muslim dapat masuk ke arus utama teknik keuangan kontemporer. Dalam beberapa hal ini berarti sumbangan pikiran dari keduanya telah mengonkretkan aspirasi sosial ekonomi kaum muslim Filipina.
Pendekatan baru telah pula menyumbangkan terminology baru dalam masalah hokum perdagangan dan perbankan. Terdapat kesesuaian antara ide interpretasi hukum melalui ijtihad dan tujuan legislative melalui siyasah seperti yang kita lihat.
Langkah penerapan hukum ini telah membuka jalan bagi prosedur institusional untuk membuat konsensus internasional yang dilaksanakan oleh badan tersebut guna mendirikan persatuan bank Islam. Dengan ini ijma sudah dapat dibuat. Perkembangan UU yang mengatur bank Islam membutuhkan suatu “pemanduan hukum)”. Undang-undang tersebut menjadi sumber hukum transaksi di Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Mesir, Iran, Sudan, Nigeria dan negara-negara teluk serta dalam skal keci, Filipina. Kerangka konseptual tentang mudharabah, musyarakah dan murabahah telah diterapkan secara nyata yang dengan sendirinya akan menciptakan suatu yurisprudensi.
Dalam sebuah tulisan Datu Michael O. Mastura, ia menguraikan prinsip tentang lembaga keuangan (bank) islam di Filipina dalam bentuk lembaga zakat, wakaf, dan sistem bank Islam. Lembaga tersebut mengelola perseroan terbatas, asuransi, lembaga manajemen berdasarkan prinsip teori keuangan Islam.
Lembaga keuangan bank Islam di Filipina, merupakan fenomena baru di lingkungan muslim minoritas. Sistem ekonomi yang mengadopsi prinsip-prinsip Bank Islam selain yang telah didiskusikan, juga diujicobakan sejak 1974 secara aspiratif. Di Filipina, pengelolaan zakat sudah berjalan pesat. Pendistribusiannya disampaikan kepada ashnafnya, termasuk penggunaannya untuk riset di universitas, modal produktif, dan dana kesehatan.
5)
Tokoh-tokoh pejuang Islam di Filipina
1.
Prof.Dr.H. Nur Misuari
Nur Misuari atau Nurallaj Misuari merupakan pengasas Pergerakan Pembebasan Mindanao yang merupakan kumpulan anti kerajaan Filipinasecara kekerasan. Nur Misuari dipenjara atas tuduhan melakukan pemberontakan pada 2006. Nur Misuari ditahan di Pulau Jampiras, Sabah 24 November 2001 kerana memasuki Malaysia tanpa dokumen perjalanan sah. Kerajaan Filipina mendesak Malaysia menyerahkan Nur Misuari tetapi Malaysia terus melindungi Nur Misuari. Nur Misuari pernah berlindung di Libya awal tahun 1980-an.
Nur Misuari merupakan Bekas Gabenor Wilayah Autonomi Islam Mindanao (ARMM) . Beliau berusia 65 tahun dan menjadi buruan Manilakerana mengetuai pemberontakan 19 November 2001 sebelum melarikan diri.
Setelah deklarasi Undang-undang keadaan perang, maka MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro) menjadi organisasi yang menonjol. Dan setelah pembunuhan besar-besaran Jabidah, kaum intelektual termasuk para mahasiswanya sepakat bahwa masyarakat Islam di negara itu akan terpelihara dengan baik sekali jika siap dilindungi oleh angkatan bersenjata yang kuat.
Tokoh-tokoh MNLF, Nur Misuari lulusan Universitas Filipina jurusan Ilmu Politik dan kemudian menjabat sebagai Rektor, selajutnya menjadi anggota staf Pusat Asia di Universitas tersebut. Ia dari keluarga rakyat biasa dari Sulu. Pemimpin yang lain yaitu Hashim Salamat dari Cotabato, berasal dari keluarga Maguindanao yang berpengaruh, dan telah belajar di lembaga-lembaga Arab dan Islam di Kairo, Mesir. Kemudian pemimpin MNLF yang lain yaitu Abdul Khair Alonto, seorang mahasiswa dan keturunan sultan-sultan di Lanao. Dengan demikian MNLF telah mewakili semua etnolinguistik dan kelompok-kelompok daerah.
2.
Abu Sayaf
Kelompok Abu Sayyaf, juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya, adalah sebuah kelompok separatis yang terdiri dari terorisMuslim yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao. Khadaffi Janjalani dinamakan sebagai pemimpin kelompok ini oleh Angkatan Bersenjata Filipina. Dilaporkan bahwa akhir-akhir ini mereka sedang memperluaskan jaringannya ke Malaysia dan Indonesia. Kelompok ini bertanggung jawab terhadap aksi-aksi pemboman, pembunuhan, penculikan, dan pemerasan dalam upaya mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan Kepulauan Sulu serta menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya negara besar yang Pan-Islami di Semenanjung Melayu(Indonesia dan Malaysia) di Asia Tenggara. Nama kelompok ini adalah bahasa Arab untuk Pemegang (Abu) Pedang (Sayyaf). Abu Sayyaf adalah salah satu kelompok separatis terkecil dan kemungkinan paling berbahaya di Mindanao. Beberapa anggotanya pernah belajar atau bekerja di Arab Saudi dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur dan berlatih di Afganistan dan Pakistan.
6)
Wilayah Autonomi Islam Mindanao
Ibu kota Cotabato dengan Gabernor Zaldy Ampatuan. Jumlah penduduk 2.803.805 – Kepadatan 220,9/km 2, keluasan 12.695,0 km 2 . Bahasa Maguindanao, Maranao, Tausug, Yakan, Sama,
Wilayah Autonomi Islam Mindanao ialah sebuah wilayah di Filipina yang terdiri daripada provinsi-provinsi Islam di negara itu, iaitu: Basilan, Lanao del Sur, Maguindanao, Shariff Kabunsuan, Sulu dan Tawi-Tawi, dan juga sebuah bandar yang didiami oleh majoriti penduduk Islam, Marawi. Wilayah autonomi ini merupakan satu-satunya kawasan di Filipina yang memiliki kerajaan sendiri. Ibu kota wilayah ini ialah Cotabato.
Wilayah ini terbahagi kepada dua kawasan geografi - tanah besar Mindanao dan Kepulauan Sulu. Lanao del Sur, Maguindanao dan Shariff Kabunsuan terletak di tanah besar Mindanao, sementara Basilan, Sulu dan Tawi-Tawi di Kepulauan Sulu. (Laman ini diubah buat kali terakhir pada 20:39, 5 Mac 2010 Wikipedia)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Proses islamisasi di Filipina pada masa awal adalah melalui tiga hal, yaitu perdagangan, perkawinan dan politik. Diterimanya Islam oleh orang-orang Mindanao, Sulu, Manilad dan sepanjang pesisir pantai kepulauan Filipina tidak terlepas dari ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang tersebut dapat mengakomodasi tradisi lokal.Umat Islam Filipina yang kemudian dikenal dengan bangsa Moro, pada akhirnya menghadapi berbagai hambatan baik pada masa kolonial maupun pasca kemerdekaan. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibagi menjadi tiga fase:
1.
Moro berjuang melawan penguasa Spanyol selamalebih dari 375 tahun (1521-1898).
2.
Moro berusaha bebas dari kolonialismeAmerika selama 47 tahun (1898-1946).
3.
Moro melawan pemerintah Filipina (1970-sekarang).
Minimal ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegrasi secara penuh kepada pemerintah Republik Filipina.
1.
BangsaMoro sulit menerima Undang-Undang Nasional karena jelas undang-undangtersebut berasal dari Barat dan Katolik dan bertentangan dengan ajaran Islam.
2.
Sistem sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama tanpamembedakan perbedaan agama dan kultur membuat bangsa Moro malas untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
3.
Adanya trauma dankebencian yang mendalam pada bangsa Moro atas program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina ke wilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah mengubah mereka dari mayoritas menjadi minoritas di segala bidang kehidupan.